BerandaAsalUsulBanjir Darah di Cimareme Garut – Kondisi Priangan Masa H. Hasan Arif...

Banjir Darah di Cimareme Garut – Kondisi Priangan Masa H. Hasan Arif (Bag. 2)

GARUT INTAN NEWS – Darah siapakah yang menggenang merah/ Membasahi bumi Priangan? / Ah, itulah darah H.Hasan/ Dipotong, seanak bininya/ Konon, apakah H.Hasan seorang perampok?/ Ah H.Hasan hanya mempertahankan sejengkal tanah/ Beberapa pikul padi dan bakul beras, mempertahankan anak bininya / Tetapi lehernya dipenggal, sekeluarga menemui ajal / Dan darah menggenang merah / Dan si perampok berkulit putih, mengamangkan goloknya / Ditengah perjalanan sejarah / Ia haus darah, haus darah….

Puisi di atas merupakan penggambaran peristiwa Banjir Darah di Camereme Garut, sebuah peristiwa berdarah atas protes H Hasan Arif dari Kampung Cimareme, Desa Cikendal, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut yang mempertahankan tanahnya dari tangan kolonial Belanda dan menjadi peristiwa penting karena membawa pengaruh besar dalam permulaan abad ke-20.

Tidak ada salahnya jika kita kembali ke masa dimana H. Hasan masih hidup untuk mengetahui kondisi status dan stratifikasi masyarakat desa pada jaman itu agar dapat memahami peristiwa yang melatar belakangi kejadian & tokoh-tokoh yang berada pada peristiwa banjir darah di Cimareme.

Baca juga : Banjir Darah di Cimareme Garut – Kisah Inspiratif H. Hasan Arif (Bag. 1)

Kabupaten Garut merupakan salah satu wilayah di Priangan Timur selain Tasikmalaya dan Ciamis. Sementara Pringan sendiri adalah sebuah karesidenan disebelah tenggara propinsi Jawa Barat yang dibagi menjadi tiga wilayah yaitu : Priangan Barat, Priangan Tengah dan Priangan Timur.

Pada tahun 1919 kabupaten Garut terdiri dari empat distrik yaitu distrik Baluburlimbangan, Leles, Tarogong dan distrik Cibatu. Distrik Leles terletak disebelah utara kota Garut, sedangkan kampong Cimareme berada disebelah timur kota Leles. Disebelah utara berbatasan dengan distrik Baluburlimbangan dan distrik Cicalengka, sebelah barat dengan distrik Ciparay, sebelah selatan distrik Tarogong, sedangkan sebelah sebelah timur distrik Cibatu.

Beberapa gunung mengelilingi kabupaten Garut, yaitu gunung Guntur, gunung Mlabar, gunung Papandayan, gunung Cikuray, gunung Galunggung dan gunung Telagabodas. Karena itulah, daerah ini cukup subur.

Pada tahun 1917, luas tanah pertanian di daerah Priangan 1.052.644 bau, diantaranya 407.566 bau berupa sawah. Penduduknya berjumlah kl. 3.300.000 jiwa, terdiri dari 12.000 orang Eropa, 22.000 orang Timur asing dan selebihnya penduduk pribumi. Priangan terdiri dari 1498 desa, sedangkan kabupaten Garut mempunyai luas 3.143 km2 dengan jumlah penduduk 546.000 jiwa.

Perekonomian Priangan bersifat agraris, karena itu penduduk desa bekerja sebagai petani, baik itu sebagai pemilik tanah maupun sebagai petani penggarap. Sistem pertanian yang ada dengan cara bagi hasil dan buruh tani. Pola penanaman utama adalah tanaman padi yang diusahakan disawah. Penanaman padi disawah sebagian besar hanya dipanen sekali setahun dan hanya sawah-sawah yang bagus irigasinya yang dapat dipanen 2 kali setahun.

Di daerah lereng pegunungan, karena langka air, orang menanam padi ditanah kering yang disebut tipar, ceger, gaga atau huma walukuan. Di tanah kering ini penghasilan petani diperoleh dari penanaman singkong, kacang tanah, kentang, cabai, jagung dan kedelai.

Penduduk juga banyak yang memiliki kebun buah-buahan seperti mangga, rambutan, duku dan coklat. Di Garut yang terkenal adalah jeruk dan vanilli.

Baca juga : Agrowisata Kebun Eptilu: Sensasi Ngabuburit dan Edukasi Sambil Petik Hasil Kebun

Kehidupan rakyat didaerah Priangan pada umumnya dapat dikatakan baik. Rakyat dapat dikatakan tidak sulit mendapatkan uang, baik dengan cara mengerjakan tanahnya sendiri maupun menjadi buruh pada perusahaan perkebunan yang selalu kekurangan tenaga. Jumlah perkebunan diseluruh Priangan sebanyak 1.440 buah, sedangkan di Garut terdapat 182 perkebunan. Perkebunan itu sebagian besar mengusahakan teh, kina, coklat, kapuk, kelapa, lada dan kopi.

Kendati demikian, petani sering kesulitan ekonomi, sehingga terpaksa harus menjual padinya sebelum masa panen. Cara ini disebut sistem ijon yang menyebabkan muncul tukang borong atau tukang pak.

Masalah yang penting dalam masyarakat agraris adalah pemilikan tanah serta cara pengolahan tanah. Mengenai pemilikan tanah di Priangan pada umumnya tanah dimiliki oleh perseorangan. Tanah yang dimiliki dengan pengolahan sendiri dinamakan yasa, sorangan, Pribadi atau usaha. Tanah warisan disebut tanah turunan. Sedangkan yang diperoleh dengan membeli dinamakan yasabanda.

Jabatan pribumi merupakan hak turun-menurun yang menyebabkan tanah-tanah dinas menjadi milik keluarga tertentu. Banyak pegawai pribumi terutama dari golongan atasnya yang menjadi tuan tanah, hal ini disebabkan ketika masih memegang jabatan mereka banyak membeli tanah. Pembelian tanah ini dianggap investasi untuk hari tua. Sewa tanah tersebut dikenakan dengan harga tinggi sehingga penyewa tidak dapat memperoleh kelebihan hasil yang memadai.

Pengolahan tanah biasa dilakukan dengan cara sewa, system bagi hasil atau system upah. Sekitar tahun 1900-an, pada umumnya pajak tanah untuk seluruhnya atau sebagian menjadi menjadi beban penggarap. Di Priangan penggarap menanggung segala sesuatu, kecuali 1/3 dari zakat, yaitu pungutan untuk keperluan keperluan kas masjid.

Masyarakat desa Priangan terbagi dalam dua golongan social yang besar yaitu golongan atas yang terdiri atas elit desa dan golongan bawah yang terdiri atas petani miskin, buruh tani, tukang, dsb.

Desa-desa terbagi-bagi menurut stratifikasi social yang didasarkan atas pemilikan tanah. Dalam masyarakat agraris, tanah merupakan sumber kekayaan utama, sehingga orang yang memiliki tanah luas mempunyai prestige yang tinggi.

Masyarakat desa dibagi atas 3 lapisan, yaitu penduduk asli, pendatang dan orang numpang. Penduduk asli disebut pribumi, jalma bumi, bumen wantok, kuren tani atau tani cekel. Mereka merupakan golongan inti yang nenek moyangnya menjadi pendiri desa, sehingga mereka memiliki sawah, pekarangan dan rumah. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang penuh sebagai warga desa, misalnya membayar pajak dan kerja bakti terhadap Negara. Pada umumnya mereka merupakan tulang punggung perekonomian petani serta sebagai golongan elit diantara penduduk desa.

Di Priangan dikenal dengan istilah tani sentana, yaitu petani yang memiliki sawah, pekarangan dan kebun yang luas serta lebih dari cukup untuk keperluan sendiri. Kepemimpinan desa dalam berbagai macam jabatan seperti kepala desa, pamong desa dan pegawai rendahan. Para haji dan kiyai termasuk golongan masyarakat ini. Mereka sering disebut ajengan yang berkedudukan tinggi dalam masyarakat serta dipandang sebagai pemimpin yang beribawa. Karena kepemimpinannya dibidang keagamaan, mereka adalah orang kaya didesa yang acapkali melebihi kekayaan kepala desanya.

Para ajengan ini sering meminjami uang atau bibit padi kepada petani miskin dengan jaminan padi pada saat waktu panen. Loyalitas petani kepada ajengan cukup kuat. Sebagai orang kaya, tani sentana selalu dimintai bantuan oleh petani miskin ketika musim paceklik.

Golongan terendah dalam lapisan masyarakat desa adalah petani yang tidak memiliki tanah atau rumah. Diantara mereka ada yang membangun rumah dipekarangan orang lain bahkan ada yang tidak memiliki rumah dan tanah sama sekali, mereka hanya ikut pada keluarga kaya untuk menjadi pembantu rumah tangga atau menjadi buruh tani.

Simak berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita GarutIntanNews.com di WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaUeKWD1iUxcq6U1Fe40. Pastikan aplikasi WhatsApp sudah terinstal.

Baca Juga

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

TERKINI

Banyak Dibaca