GARUT INTAN NEWS – Kampung Pasir di Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, menjadi tempat di mana tradisi ngampih pare terus dilestarikan oleh masyarakat Akur Sunda Wiwitan.
Tradisi ini tidak hanya sebagai ritual semata, tetapi juga sebagai cara untuk menghormati leluhur dan menjaga kelangsungan hidup melalui bahan pangan utama, yaitu beras.
Abah Endan, Pupuhu Adat Akur Sunda Wiwitan, menjelaskan bahwa “ieu warisan ti para karuhun-karuhun urang sadayana. Naon margina? Ieu bahan pokok anu baris nyambung huripna hirup manusa teh” ungkapnya.
“Ini tradisi dari leluhur kita semua. Mengapa? Karena bahan pokok ini adalah penghubung kehidupan manusia” (-red).
Sebagai makanan pokok, beras menjadi simbol ketahanan pangan dan kelangsungan hidup masyarakat. Tradisi ini berasal dari Jawa Barat dan mekar ke seluruh Nusantara, namun tetap dilestarikan di kampung adat ini sebagai warisan nenek moyang.
Tekad kuat masyarakat Akur Sunda Wiwitan untuk melestarikan warisan leluhur tidak hanya terbatas pada tradisi pertanian.
“Saking ku keukeuhna di masyarakat akur sunda wiwitan mah dilestarikeun, dimumule sagala rupina margi didieu te tebih dina seni seni budayana, Seni tari, seni suara, seni batik, seni ukir, seni logam,” ujar Abah Endan.
“Di masyarakat akur sunda wiwitan di lestarikan, di jaga segala hal sebab disini tidak jauh dari seni budaya, seperti seni tari, seni suara, seni batik, seni ukir, seni logam” (-red).
Melalui pelestarian ini, masyarakat Akur Sunda Wiwitan menunjukkan dedikasi mereka dalam merawat dan memperkaya budaya yang telah diwariskan.
Tujuan utama dari ngampih pare adalah untuk melestarikan nilai-nilai yang ada dalam tradisi ini.
Filosofi yang terkandung dalam tradisi ngampih pare adalah bahwa jika suatu saat terjadi kekurangan pangan (Paceklik), masyarakat dapat mengambil dari Lumbung (Leuit) sebagai bentuk antisipasi dan pengelolaan yang bijaksana.
Ngampih pare dilakukan oleh 11 orang yang membentuk 11 pasangan. “11 etateh ngandung hartos, ari 11, sawelas, kedah aya welas asihna ka sasama, sing akur rukun, repeh rapih” ungkap abah Endan.
“11 ini mengandung arti, 11 itu sawelas, harus ada kasih sayang kepada sesama, akur serta rukun dan damai,” (-red).
Tradisi ini juga berfungsi sebagai penghormatan kepada leluhur yang telah meninggal, menunjukkan betapa pentingnya menjaga hubungan harmonis dengan masa lalu.
Tradisi ngampih pare di Kampung Pasir adalah salah satu cara masyarakat Akur Sunda Wiwitan menghormati dan merawat warisan leluhur mereka. Tradisi ini terus dipertahankan sebagai pengingat akan pentingnya ketahanan pangan, kebersamaan, dan penghormatan terhadap alam serta leluhur. Dengan demikian, ngampih pare menjadi lebih dari sekedar tradisi, tetapi juga sebagai simbol keberlanjutan budaya dan kehidupan.