BerandaAtikanMisi Ayah Teladan dalam Mewujudkan Impian Kartini: Perspektif Historis dan Relevansi Kontemporer

Misi Ayah Teladan dalam Mewujudkan Impian Kartini: Perspektif Historis dan Relevansi Kontemporer

GARUT INTAN NEWS

Oleh : Fahrurroji Firman Al-Fajar, S.Pd.I.,M.Pd.

Ketua konsorsium komunitas penggiat ayah teladan Indonesia

“Impian Kartini tak lahir dari sunyi—ia tumbuh dari ayah yang memilih hadir, mendengar, dan percaya. (penulis)

Perempuan dalam sejarah Indonesia sering kali diperjuangkan melalui narasi besar tentang emansipasi, namun jarang dibicarakan mengenai siapa yang membuka jalan sunyi dalam lingkup domestik keluarga untuk perjuangan tersebut. Sosok ayah bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat layak mendapat sorotan perhatian, sebab Sosroningrat membuka jalan sunyi ditingkat domestik dengan memberikan ruang tumbuh, akses pendidikan dan mendukung pemikiran kritis  anak perempuan yang bernama Kartini.

Terlebih, pada saat itu konteks struktur sosial Jawa kolonial yang patriarkal dan konservatif masih kental. Sosroningrat  mampu mendobrak situasi tersebut, sehingga fenomena ini membuka perbincangan penting mengenai peran ayah dalam pendidikan dan kesetaraan gender, yang hingga kini tetap menjadi tantangan dalam masyarakat modern.

Berangkat dari persoalan tersebut, tulisan ini bertujuan mengkaji peran ayah teladan dalam mewujudkan impian anak perempuan melalui studi historis dan telaah kontemporer. Kartini dipilih sebagai titik masuk historis, sementara studi-studi modern menjadi referensi untuk membuktikan bahwa pola pengasuhan serupa tetap relevan dalam upaya mewujudkan  pemberdayaan perempuan.

Sosok Ayah dalam Narasi Kartini

Dalam surat-suratnya, Kartini menyebut ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, sebagai satu-satu sosok yang memahami kehausan ilmu dan keadilan. Ia menulis, “Ayah tidak setuju dengan semua pembatasan ini, tetapi dia tidak bisa melawan adat.” (Kartini, 1911). Kutipan ini memperlihatkan adanya konflik batin dalam diri Sosroningrat, konflik antara kepatuhan terhadap adat Jawa yang patriarkal dan panggilan nurani sebagai seorang ayah yang ingin mendukung potensi anak perempuannya. Meskipun pada akhirnya ia tidak mampu membebaskan Kartini sepenuhnya dari praktik pingitan dan pernikahan adat, setidaknya Sosroningrat telah memberikan fondasi intelektual dan keberanian berpikir yang menjadi modal penting bagi perjuangan Kartini.

Apa yang dilakukan Sosroningrat , merupakan salah satu peran yang dimainkan seorang ayah. Michael E. Lamb (2010) menegaskan bahwa ayah yang terlibat aktif dalam kehidupan anak perempuan memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan identitas diri, aspirasi karier, dan kepercayaan diri anak. Hal ini diperkuat oleh laporan UNICEF (2021) yang menunjukkan bahwa anak perempuan dengan ayah suportif memiliki performa akademik yang lebih baik serta kesehatan mental yang lebih stabil. Dengan demikian, keterlibatan emosional dan kognitif ayah dalam pengasuhan menjadi fondasi penting untuk memberdayakan perempuan—sebuah visi yang sejalan dengan gagasan Kartini bahwa pendidikan perempuan adalah kunci kemajuan bangsa.

Tantangan Keterlibatan Ayah di Indonesia

Di tengah arus modernisasi dan seruan global akan kesetaraan gender, peran ayah dalam pengasuhan anak di Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan peran ibu. Data Badan Pusat Statistik (2022) mencatat bahwa sekitar 70% beban pengasuhan anak masih diemban oleh ibu, sementara ayah lebih banyak terlibat dalam peran tradisional sebagai penyedia nafkah. Keterlibatan mereka dalam aspek emosional, kognitif, dan edukatif anak-anak, khususnya anak perempuan, masih sangat terbatas.

Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari rendahnya literasi ayah serta kuatnya warisan budaya patriarkal yang mengakar dalam masyarakat. Banyak ayah belum menyadari bahwa kehadiran mereka secara aktif dan setara dalam pengasuhan, terutama dalam mendukung pendidikan dan impian anak terutama anak perempuan, merupakan langkah strategis dalam mendorong lahirnya generasi perempuan yang berdaya dan percaya diri.

Kurangnya keteladanan publik terhadap figur ayah yang  turut memperkuat narasi lama bahwa urusan anak adalah tanggung jawab ibu semata. Padahal, sejarah telah mencatat peran penting sosok ayah seperti Sosroningrat—ayah Kartini—yang meski terikat oleh nilai-nilai feodal, tetap memberikan ruang intelektual bagi putrinya untuk berpikir dan bermimpi besar. Dalam konteks ini, membangun misi ayah teladan adalah langkah penting dan relevan dalam menjawab tantangan masa kini, sekaligus melanjutkan perjuangan Kartini dalam memperjuangkan martabat dan pendidikan kaum perempuan.

Langkah-Langkah Praktis Mewujudkan Misi Ayah Teladan

Meneladani peran Sosroningrat, ayah Kartini, yang meskipun hidup dalam struktur sosial feodal tetap menjadi figur suportif bagi tumbuhnya pemikiran putrinya, para ayah masa kini pun ditantang untuk hadir secara utuh dalam pengasuhan anak perempuan. Ini dimulai dengan kesadaran akan pentingnya keterlibatan emosional, kognitif, dan edukatif, bukan sekadar kontribusi finansial. Ayah dapat membangun kedekatan dengan menjadi pendengar aktif, teman diskusi, dan pendamping dalam proses belajar anak. Terlibat dalam pekerjaan rumah tangga dan membagi peran secara setara juga menjadi contoh konkret bahwa nilai kesetaraan hidup dalam praktik keluarga. Langkah ini tidak hanya membentuk karakter anak perempuan yang percaya diri dan bebas dari stereotip gender, tetapi juga memberi pesan kuat bahwa ayah adalah pendukung utama dalam pencapaian mimpi mereka.

Lebih jauh, peran ayah teladan juga melibatkan keberanian untuk mendobrak konstruksi sosial patriarkal dengan menjadi agen perubahan di lingkungan sekitar. Para ayah bisa mendukung minat anak perempuan, bahkan dalam bidang yang secara tradisional dianggap “maskulin,” seperti sains, teknologi, atau kepemimpinan. Sikap afirmatif ini harus ditopang dengan menjadi teladan dalam memperlakukan perempuan secara setara di rumah maupun ruang publik. Tak kalah penting, para ayah juga dapat mendorong lahirnya kebijakan kerja yang ramah keluarga—seperti cuti ayah, fleksibilitas kerja, dan budaya kerja suportif—sebagai bagian dari advokasi peran ayah dalam pengasuhan. Dengan demikian, misi ayah teladan bukan hanya tentang mendidik anak perempuan menjadi Kartini masa kini, tetapi juga tentang membangun peradaban yang lebih adil dan beradab dari dalam rumah sendiri.

Penutup

Kartini tidak mungkin menjadi simbol perjuangan perempuan tanpa kontribusi figur ayah yang mendukungnya secara diam-diam namun kokoh. Peran ayah teladan seperti Sosroningrat memberi pelajaran penting bahwa pendidikan dan pemberdayaan perempuan dimulai dari rumah, dan dimungkinkan oleh figur ayah yang sadar sejarah dan adil gender. Temuan ini menegaskan bahwa keterlibatan ayah tidak hanya penting secara psikologis, tetapi juga berdampak strategis bagi pembangunan bangsa.

Untuk itu, perlu adanya sinergi antara pendidikan keluarga, kurikulum sekolah, dan kebijakan publik yang mendorong partisipasi ayah dalam pengasuhan setara dan pemberdayaan anak perempuan.

Simak berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita GarutIntanNews.com di WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaUeKWD1iUxcq6U1Fe40. Pastikan aplikasi WhatsApp sudah terinstal.

Baca Juga

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

TERKINI

Banyak Dibaca