GARUT INTAN NEWS – Tubuhnya kering kerontang, tidak terlihat rimbun, nyaris menyiratkan kehidupan ketidakramahan. Ia bernama Gunung Guntur.
Sejarah telah mencatat, Sepanjang tahun 1800, gunung ini berkali-kali meletus. Sepanjang tahun 1800 sampai 1847, terekam 21 letusan. Salah satu letusan dahsyat terjadi tahun 1840.
Ketika meletus, letusannya menggelegar seperti guntur membelah langit. Mungkin dari situlah nama ”guntur” ini dilekatkan pada gunung berketinggian 2.445 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Letusan Gunung Guntur membuat Franz Wilhelm Junghuhn, naturalis Belanda kelahiran Jerman, terpesona dan mencatat dalam “13 Goentoer” yang dimuat Java Tweede Afdeling, De Vulkaan en Vulkanische Verschijnselen West-en Midden-Java (1850).
”Matahari belum lagi terbit ketika tiba-tiba terbentuk tiang api dan asap dari kawah. Lava membara mengalir ke semua arah dari tepinya,” tulis Junghuhn.
Pukul 03.30, terdengar suara gemuruh. Ledakan yang tiba-tiba itu membangunkan penduduk Garut dari tidur. Mereka berlarian keluar rumah, menyaksikan segumpal awan asap besar membumbung dari kawah.
Api, pasir, dan kerikil membara menyembur selama dua jam ke segala penjuru. Batu sekepalan tinju berhamburan di kaki gunung dan Tarogong. Batu-batu panas yang semburannya mencapai Garut kota masih berukuran sebesar telur ayam. Hujan batu dan suara menggelegar itu berhenti pukul 09.00 dan mengubah siang menjadi malam paling gelap sehingga warga harus menyalakan lampu di dalam rumah dan obor di jalan.
Aliran putih membara dahsyat keluar dari kawah dan bergerak mengalir. Kawah ibarat mangkuk dengan susu mendidih yang meluap ke segala arah. Suara gemeretak bongkah batu yang jatuh di lereng gunung mirip tembakan meriam, memecahkan kaca-kaca rumah di Garut.
Catatan Junghuhn tentang letusan itu mencengkeram benak. ”Tiada batang rumput menghiasi Gunung Guntur dari kaki hingga puncak, sama sekali gundul. Ia menjulang dalam kegelapan lontaran kelabu kotor kehitaman, bagaikan suatu gambaran kehancuran”.
Hanya setahun setelah letusan dahsyat itu, Guntur kembali meletus. ”Letusannya menyebarkan hujan abu diiringi suara kuat dari dalam tanah. Tanah tertutup pasir dan abu. Sebanyak 400.000 pohon kopi yang sedang berbuah dan 300 bau sawah rusak berat,” demikian rekaman koran Javasche Courant, 4 Desember 1841.
Jauh sebelum itu, letusan Guntur bahkan menelan korban jiwa. Letusan tahun 1690, letusan pertama Guntur yang dicatat, menghancurkan beberapa desa, menelan korban banyak orang, dan merusak ribuan hektar tanah pertanian.
Letusan tahun 1690 adalah letusan pertama Guntur yang dicatat.
Letusan Guntur tahun 1825 juga membawa banyak kerugian. Natuurkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie (seri IV, 1859) menyebutkan, debu, pasir, dan batu yang terbawa ke selatan serta barat menutup Malaijo, Tjibodas, Dongde, Trogong Kaler, dan Leles. Tidak ada korban jiwa, tetapi 548.750 pohon kopi hancur, 4.000 pikul kopi hasil panen hilang, dan 1.449 petak sawah rusak tertutup abu.